HOMEWORK

Essay by Eunike November 2014

download word file, 16 pages 0.0

� PAGE \* MERGEFORMAT �12�

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA

Nama : Gillberth Lawata, Vanya O.A. Ginting, dan Ujun Junaedi

Mata kuliah : Teologi Sosial

Pengampu : Binsar Jonathan Pakpahan, Ph.D

Duh, Pelupanya Bangsaku!

Indonesia Amnesia

Siapakah Indonesia itu? Konon Indonesia terkenal dengan gotong royong dan semangat kekeluargaannya. Namun saat ini hampir tidak dirasakan lagi semangat kekeluargaan dan gotong royong tersebut. Narasi mendirikan rumah dengan gotong royong, kerja bakti, tepo seliro, yang juga disemangati tenggang rasa, kini sulit sekali diceritakan kepada anak-anak yang dijuluki "Google Kids" itu. Pasalnya, mereka hampir tidak menyaksikan lagi hal tersebut terjadi saat ini.

Bukan hanya itu saja, bangsa ini seakan dengan mudahnya melupakan peristiwa-peristiwa yang terjadi seiring dengan peristiwa terkemudian yang dialami bangsa ini. Sebut saja pembunuhan sistematis "politicide" tahun 1965 atau "penembak misterius" era 1980an, kekerasan episodik penembakan demonstran-demonstran Muslim di Tanjung Priok tahun 1984 atau terbunuhnya mahasiswa Universitas Trisakti Mei 1998 dan pemerkosaan etnis Tionghoa'98 (Zurbuchen 2005, 7).

Apakah ini artinya Indonesia lupa siapa dirinya?

Belum lagi kasus-kasus penutupan gedung gereja seperti yang dialami GKI Yasmin dan HKBP Ciketing. Entah ini mengindikasikan bahwa Indonesia tidak memiliki dasar untuk hidup memeluk agama, atau lagi-lagi Indonesia lupa memiliki Pancasila. Yang pasti, sekonyong-konyong Indonesia begitu mudahnya melupakan sesuatu lantas menggantinya dengan sebuah peristiwa yang baru. Jika hal itu benar, berarti Indonesia amnesia.

Keadaan ini menguntungkan atau merugikan? Bagi para politisi, hal ini bisa menguntungkan. Seakan memancing di air keruh, para calon pemimpin mengobral janji besar untuk mendapat hati rakyat. Baru setelah mereka mendapat kursi jabatan, mereka (pura-pura) lupa menepati janji tersebut. Rakyat kembali dikecewakan. Uniknya, baru saja rakyat dikecewakan pada suatu periode, rakyat kembali lupa dan tidak sedikit "rakyat amnesia" itu memilih kembali calon-calon pemimpin yang juga sering lupa akan janji mereka itu. Sepertinya bangsa ini benar-benar sakit.

Jika diagnosa ini dibenarkan, yakni Indonesia sakit lupa, maka pertanyaan berikutnya bagaimana merawat bangsa yang pelupa ini. Bagaimana sebagai seorang Kristen dan juga warga negara Indonesia memberikan sumbangan pemikiran terhadap penyakit Indonesia yang cukup kronis ini. Dalam tulisan singkat ini akan dibahas peranan teologi mengingat dalam upaya gereja untuk melahirkan memori sosial yang baru, yang juga bisa dipakai sebagai upaya rekonsiliasi konflik komunal.

Apa itu Mengingat?

Dalan analisa Binsar Pakpahan, kata "ingat" dalam KBBI berarti "berada dalam pikiran; tidak lupa; timbul kembali dalam pikiran; menaruh perhatian; hati-hati, berwawas. Sedangkan "mengingat" memiliki arti yang lebih luas yakni "menjaga dalam ingatan, tidak melupakan, dan membawa kembali ke pikiran kita (Pakpahan 2014, 257). Pakpahan menambahkan mengingat juga berurusan dengan aksi di masa yang akan mendatang.

Lebih lanjut, Pakpahan menganalisa Stanford Encyclopedia of Philosophy, dan menegaskan bahwa mengingat berkaitan erat dengan jenis ingatan. Ingatan dibagi menjadi dua yakni ingatan non deklaratif dan ingatan deklaratif. Ingatan non-deklaratif adalah jenis ingatan yang tidak memerlukan pencarian kebenaran, misalnya ingatan yang memainkan instrumen musik atau menyetir, sedangkan ingatan deklaratif lebih menuntut untuk mencari kebenaran kejadian yang terekam yakni ingatan fakta yang berhubungan dengan informasi yang perlu diketahui untuk memahami apa isi dari ingatan tersebut; misalnya, sistem apartheid di Afrika Selatan (Pakpahan 2014, 258).

Mengingat dan Melupakan

Mengingat berbicara tentang identitas. Pada masa kini, kita memiliki banyak cara untuk merekam segala kejadian yang telah berlalu dalam kehidupan kita. Rekaman tersebut terkadang mengingatkan kita kepada sesuatu yang indah, tetapi di sisi lain, terkadang kita berada dalam keterpurukan dari ingatan kita sendiri (Pakpahan 2012, 299). Mengingat kejadian-kejadian yang bersifat traumatik berarti mengingat secara holistik apa yang terjadi dan dapat mengatakan 'tidak' pada kekerasan dalam kejadian tersebut.

Mengingat tidak selamanya mudah, karena ingatan tidak seperti sejarah yang faktual dan otak kita tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengingat secara detail kejadian yang pernah terjadi dalam kehidupan kita. Meskipun demikian, berbagi cerita adalah saat yang penting dalam proses mengingat. Hal ini membuat kita dapat mendengar lebih jauh suara dan cerita menyakitkan lainnya. Mengingat adalah bagian yang esensial dari pelaku dan korban untuk menyatakan dirinya satu dengan yang lain dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi menurut perspektif mereka masing-masing (Pakpahan 2012, 300). Oleh karena itu, mengingat kembali masa lalu dapat mengundang kembalinya rasa sakit. Misalnya, ingatan bagi korban perkosaaan atau korban pelecehan seksual di masa kecil. Dalam kasus seperti demikian, biasanya para korban ingin semua ingatan mengenai hal tersebut dapat di hapus dari hidup mereka. Oleh karena ketakutan tersebut, maka banyak orang lebih memilih untuk mengubur dalam-dalam luka yang dialaminyan daripada menceritakannya kembali.

Ingatan juga dapat membawa seseorang kepada balas dendam. Masa lalu yang belum terselesaikan, tentunya dapat kembali di masa depan dan dapat membuat kita melakukan kekerasan. Mereka yang pernah mengalami kekerasan di masa kecilnya, cenderung mengulangi kekerasan tersebut di masa dewasa. Dalam konteks komunal, ingatan yang diwariskan dapat membuat konflik baru di masa depan. Kekerasan dapat terjadi karena balas dendam atas suatu hal yang dilakukan komunitas lain terhadap komunitasnya, bahkan dari beberapa generasi sebelumnya, tanpa pernah mengalaminya. (Pakpahan 2014, 259)

Adapun karena kesulitan dan tantangan ini, maka orang lebih memilih untuk menggunakan istilah "forgive and forgot". Arti dari ungkapan ini adalah untuk melupakan apa yang telah kita maafkan. Meskipun demikian, ungkapan ini sekarang digunakan untuk hal lain yaitu untuk melupakan, tanpa melalui proses memaafkan. Namun, tahukah kita bahwa memaafkan bukanlah cara untuk melupakan, demikian juga sebaliknya. Biasanya, kita tidak dapat melupakan hal yang begitu menyakitkan, meskipun kita sudah memaafkannya. Ketika kita melupakan sebuah peristiwa, kita tidak perlu memaafkannya, karena tidak ada hal yang diingat untuk dimaafkan. Kita hanya dapat memaafkan hal yang diingat saja. Jadi hal pertama yang diperlakukan dalam proses memafkan adalah mengingat. Budi Hardiman mengatakan bahwa sebuah kejadian adalah satu hal di mana seseorang tidak menguasai lagi apa yang terjadi pada dirinya, di mana ia menjadi bagian dari apa yang terjadi. Seperti trauma yang adalah hasil dari kejadian negatif yang menimpa. Ketika seseorang berusaha untuk melupakannya, maka sebenanya ia sedang berada dalam proses mengingat, karena ia tidak dapat melupakan. Oleh karena itu, usaha untuk melupakan justru akan membawa ingatan itu kembali lagi. (Pakpahan 2014, 260- 261)

Kita juga sering melihat bahwa pengingatan dari konflik komunal yang telah berlalu dapat mendukung para korban. Kekejaman pada era ini sekarang diingat lagi sebagai pengakuan masa lalu. Hal ini dapat menjadi pembelajaran yang positif untuk ke depannya dan dapat menjadi sebuah pengalaman yang baik untuk memperbaiki dan menjalin kembali hubungan yang terputus. Beberapa komunitas memilih mempertahankan ingatan dari korban untuk menghormati dan menghargai setiap cerita dari para korban, serta menaikkan harapan bagi setiap orang agar kejadian tersebut tidak terulang lagi (Pakpahan 2012, 300).

Ingatan-ingatan yang lampau dalam sebuah komunitas dibentuk dalam ingatan kolektif. Ingatan kolektif ini membantu komunitas menentukan identitas dirinya. Jika ada ingatan yang buruk yang terjadi di masa lalu, maka ingatan ini menjadi tenaga yang negatif bagi masa kini dan masa depan. Ingatan yang negatif adalah ingatan yang begitu pahit, sehingga yang teringat hanya rasa pahit itu. Komunitas yang bukanlah menjadi korban, memaknai identitasnya sebagai korban. Hal ini menyebabkan komunitas tersebut tetap mengingat kepahitan itu dan menganggap diri mereka sebagai korban. Ingatan yang negatif membuat suatu komunitas menganggap dirinya korban, untuk mengidentifikasikan warisan dari komunitas penyerang sebagai pelaku. Lebih jauh lagi, ingatan yang negatif ini membuat suatu komunitas kehilangan harapan dan terus terluka (Pakpahan 2012, 301).

Ingatan dari suatu kejadian terbuka terhadap makna yang baru, berdasarkan pada cara pandang dari suatu komunitas. Ketika makna yang baru dihubungkan dengan ingatan-ingatan yang lama, maka hal ini akan membuka kemungkinan dari ingatan yang menebus (redemptive memory). Ingatan yang menebus berangkat dari kerangka kerja yang positif untuk mengingat ingatan tersebut, tanpa menerima warisan ingatan yang pahit dan sakit (Pakpahan 2012, 301).

Mengingat dalam Teologi Kristen

Perintah untuk mengingat sebenarnya menjadi pusat dari teologi Kristen. Orang Kristen selalu diminta untuk mengingat identitasnya, serta kuasa penyelamatan Allah dalam hidup, kematian dan kebangkitan Kristus. Liturgi adalah respons umat terhadap ingatan ini. Alkitab juga penuh dengan perintah untuk mengingat karya Allah. Oleh karena itu, adalah baik jikalau kita dapat kembali ke dasar lagi untuk mengingat dalam teologi terutama kalau dihubungkan dengan konflik dan proses memaafkan. Hal ini menjadi penting, karena mengingat adalah langkah untuk memutus lingkaran tindakan ingatan negative, yaitu ingatan yang menyakitkan yang tidak dapat diselesiakan. (Pakpahan 2014, 263)

Dalam Alkitab khususnya kitab Perjanjian Lama, dijelaskan bahwa "ingatlah" adalah perintah yang selalu diberikan kepada Israel untuk mengingat identitasnya sebagai umat Allah. Kata kerja "ingatlah" juga sering dihubungkan dengan komisi Israel yang selalu memberontak, sehingga mereka perlu mengingat karya Allah. Tidak hanya itu saja, ketika kata "ingatlah" dihubungkan dengan Allah sebagai objek, maka Israel meminta Allah untuk mengikat janji dengan mereka yakni Allah adalah Allah Israel. Ketika hal ini dihubungkan dengan pengakuan dosa, maka permintaan "ingatlah" kepada Allah adalah permohonan untuk menolong mereka dan melepaskan mereka dari cengkeraman musuh. Namun, ketika Allah menjadi subjek, maka kata mengingat berhubungan dengan kesalahan Israel dan tindakan Allah dalam menghukum atau meninggalkan mereka. Kata "lupa" juga dihubungkan dengan kesalahan Israel dalam tidak mengingat perjanjiannya dengan Allah. Ketika Allah memaafkan Israel, maka ia tidak lagi mengingat doa mereka. (Pakpahan 2014, 264-265)

Dalam Perjanjian Baru, kata utama yang digunakan untuk mengingat adalah anamnesis .Jika Allah mengingat seseorang, maka orang itu akan memperoleh kasih dan berkat. Kata mengingat juga terhubung dengan aksi perdamaian dan memegang teguh firman Allah. Ide mengingat dapat ditemukan dalam institusi Perjamuan Kudus. Ekaristi adalah sebuah kejadian unik yang dilakukan oleh Yesus sendiri dan Ia meminta agar dilakukan oleh murid-muridnya sebagai peringantan akan diri-Nya. Mengigat kehidupan dan kematian serta kebangkitan Yesus adalah inti dari Ekaristi. (Pakpahan 2014, 266-267)

Teologi Mengingat

Dalam bukunya God Remembers, Binsar Pakpahan menggunakan pandangan tiga teolog mewakili tiga aliran kekristenan yang berbeda Johann Baptist Metz seorang Katolik, Alexander Scgmemann dari Ortodoks dan Miroslav Volf mewakili Protestan. Ketiga teolog ini menitikberatkan bahwa ingatan menjadi bagian penting dalam upaya rekonsiliasi.

Johann Baptist Metz

Johann Baptist Metz adalah teolog yang cukup terkenal pada masa setelah Perang Dunia II. Ia mengangkat ide mengenai ingatan yang berbahaya (dangerous memory) dalam perkembangan teologi politik. Ide Metz ini memberi dampak bagi teologi politik, karena ia berpikir bahwa teologi seharusnya memilih untuk mengingat penderitaan. Ingatan ini dapat menjadi dasar dalam peran Gereja di dunia (Pakpahan 2012, 172).

Ingatan yang berbahaya adalah ingatan yang meminta kita untuk mengingat penderitaan dan berlaku demikian. Ingatan yang berbahaya dari Kekristenan menjadi pelaku penting dalam perkembangan teologi Metz. Ingatan seperti ini akan menentukan eklesiologi Gereja dan keterlibatannya di dunia. Ingatan dapat menjadi bahaya karena dengannya kita dapat melepaskan diri dari masa kini dan melihat apa yang telah terjadi, serta menyadari kenapa masa kini terjadi dan kemudian mengambil langkah untuk masa depan. Mengingat dapat menjadi sesuatu yang berbahaya ketika tindakan itu mengubah persepsi kita mengenai masa kini dan bertindak atasnya.

Ingatan fundamental orang Kristen adalah memoria passionis (ingatan akan penderitaan). Melalui memoria passionis, kita mengingat kehidupan, penderitaan, kematian, kebangkitan Kristus, dan bahwa Allah menjanjikan pembebasan dari semua penderitaan. Karena janji Allah, kita harus selalu memiliki harapan. Ingatan ini akan membawa kita kepada memoria resurrectionis (ingatan akan kebangkitan). Ingatan akan penderitaan akan membawa Gereja sebagai komunitas orang percaya untuk terlibat dalam praktik solidaritas bersama mereka yang menderita.

Bagi Metz, tugas mengingat ini harus dilakukan dalam tingkat komunitas, yakni jemaat Kristen. Gereja adalah komunitas orang yang mengingat, karena Gereja adalah sebuah institusi individu dari kebebasan sosial-kritis, pembawa ingatan yang mengancam dalam proses modernisasi, sebuah komunitas ingatan dan narasi dalam komunitas pengikut Yesus yang memfokuskan diri pada penderitaan orang lain, dan berbicara mengenai sebuah Gereja yang penuh belas kasih. Gereja memegang peran penting dalam mengingat penderitaan dan akan mendorong umat beriman untuk membawa harapan kepada mereka yang menderita.

Pemahaman Metz ini berangkat dari realitas gereja yang terbagai dalam kelas-kelas ekonomi. Ia membangun teologinya pada realitas bahwa banyak orang yang telah terlalu nyaman dengan keadaan dirinya, sehingga tidak melihat adanya penderitaan di sekeliling mereka. Ia memfokuskan pada Gereja pada kelas menengah, yang tidak berkekurangan barang-barang, peduli akan, dan penuh perhatian terhadap kisah-kisah penderitaan di sekelilingnya (Pakpahan 2012, 163).

Diprivatisasi masyarakat kelas menengah cenderung mengklaim bahwa mereka telah memahami ajaran Gereja tentang cinta, dengan menafsirkan solidaritas terhadap orang lain hanya dalam bentuk donasi ,tanpa terikat secara emosional. Ia berpendapat bahwa Gereja dan teologi di dunia seharusnya memiliki perubahan pikiran (change of heart), terutama perhatian terhadap penderitaan. Semua ini adalah ciri dari komunitas orang kaya (bourgeois) dan Gereja kehilangan makna mesianis. Menurut Metz, alasan mengapa banyak Gereja kehilangan makna mesianisnya adalah masalah ekonomi (Pakpahan 2012, 163-164).

Metz melihat Pencerahan (Enlightment) sebagai sumber kemunduran, yang membawa teologi dalam era modern jatuh dalam tahap krisis. Ada lima bagian penting dalam kelas menengah diprakarsai oleh Pencerahan. Pertama, privatisasi dalam masyarakat kelas menengah yang menimbulkan sikap individual. Kedua, ketika seseorang menjadi individual, maka nilai-nilai dalam tradisi (kekeluargaan, persahabatan, dan pengucapan syukur) kehilangan makna dan perannya. Ketiga, krisis otoritas; Gereja kehilangan nilai-nilai tradisinya. Keempat, krisis alasan-alasan metafisikal. Alasan-alasan menjadi 'barang' dalam diri seseorang yang telah menerima barang dan pendidikan. Kelima, krisis agama. Yang terkahir, agama dibawa dalam posisi kelas menengah (tidak penting) (Pakpahan 2012, 164-165).

Alexander Schmemann

Alexander Schmemann adalah seorang teolog Ortodoks dari Estonia. Kontribusi dari Schmemann terkait dengan teologi ingatan ini adalah ia menunjukkan kembali Ekaristi sebagai sakramen yang memiliki aspek komunal. Ia mengajukan kembali sentralitas dari Ekaristi dalam teologi dan liturgi, yaitu cerita kasih dan karya Allah di dalam Kristus. Tidak hanya itu saja, Ekaristi juga dihubungkan dengan sebuah aksi bersama, mengikat kehidupan setiap individu dalam perayaan sukacita. Faktor komunal merupakan bagian integral dari perayaan Ekaristi tersebut. (Pakpahan 2014, 270)

Sebagai pusat dari teologi, Ekaristi menawarkan kesempatan sebagai tempat memproses ingatan yang penuh dengan luka konflik yang mengikat semua anggota Tubuh kristus. Ekaristi membuka kesempatan bagi korban dan pelaku untuk duduk bersama merayakan perjamuan Kristus. (Pakpahan 2014, 271)

Pada bagian ini, Schmeemann juga mengatakan bahwa ingatan akan Kerajaan Allah datang dengan ingatan akan salib. Ingatan kita akan misteri Kerajaan Allah akan dibuka dalam sukacita perjamuan. Pengalaman mengingat ini bukan hanya tentang hal yang terjadi di masa lalu, melainkan juga tentang masa depan yang akan diberikan Allah kepada kita. Faktor sukacita menjadi penting dalam ingatan ini. Dengan demikian, Ekaristi adalah "pintu masuk Gereja ke dalam sukacita Tuhan." Dari perspektif Schmemann ini, kita dapat memiliki tempat untuk mengubah ingatan kita menjadi ingatan yang sukacita dalam semangat komunal. Tempat mengingat teologis ini adalah tempat di mana korban dan pelaku dapat masuk bersama dan berbagai cerita kesengsaraan dan sambil mengingat kristus. (Pakpahan 2014, 271).

Miroslav Volf

Miroslav Volf lahir di Osijek, Croatia tahun 1956 di tengah perang. Ia tinggal di Serbia dengan keluarga yang berlatar belakang pentakostal. Ayahnya berdarah setengah Jerman dan ibunya minoritas Ceko. Identitas Volf yang multietnis, pengalaman hidupnya melihat gereja yang terpisah karena etnis di kampung halamannya, kondisi perang yang terbentuknya Yugoslavia, juga diskusi tentang modernisme dan posmodernisme membawa ia kepada eksplorasi teologis tentang identitas dan keberlainan, juga pengampunan dan rekonsiliasi (Pakpahan 2012, 208). .

Tema pengampunan menjadi tema sentral dalam teologi Volf. Kasih Allah merangkul baik korban maupun pelaku, apapun etnis dan latar belakang mereka (Pakpahan 2012, 210). Karena Allah mengampuni manusia, demikianlah manusia juga harus mengampuni sesamanya. Namun, pengampunan ini bukan semata-mata cerminan dari pengampunan Allah, tetapi menjadikan pengampunan Allah itu sebagai miliki kita, dan tentunya Kristus yang mengampuni melalui kita. Inilah fondasi pengampunan yang menjawab mengapa manusia mampu dan berhak mengampuni orang lain (Pakpahan 2012, 212). Pengampunan juga menjadi alat untuk memutuskan pembalasan dendam. Meskipun demikian, pengampunan membutuhkan pertobatan seabgai tindakan pernyataan diri dan kerendahan hati (Pakpahan 2012, 213).

Volf juga menitikberatkan arti pentingnya ingatan (memory) dalam pembentukan identitas. Ingatan adalah faktor yang penting dalam pengampunan (Pakpahan 2012, 215). Volf mengatakan bahwa eksplorasi ingatan dalam hubungannya dengan pengampunan bertujuan "it is to remember the wrongdoing suffered as a person committed to loving the wrongdoer." (Pakpahan 2012, 216). Di sini terlihat, mengingat selalu berada dalam terang merangkul yang lain. Dengan demikian, bagi Volf, ingatan selalu menjadi bagian sentral dalam hubungan antara pengampunan dan rekonsiliasi. Oleh karena itu, tantangan berikutnya adalah bagaimana kita mengingat masa lalu secara jujur (truthfully) (Pakpahan 2012, 216-217).

Bagi Volf, ada tiga alasan mengapa mengingat harus dilakukan secara jujur. Pertama, mengingat dengan jujur adalah sebauh kegiatan sosial dengannya korban akan memperngaruhi sikapnya di masa yang akan datang terhadap lingkungan di mana ia berada. Kedua, mengingat dengan jujur dapat menjadi pelajaran agar hal yang serupa tidak terjadi lagi di masa depan. Ketiga, hal itu diperlukan agar kita dapat berlaku adil terhadap sang pelaku, dengan tidak menuduh mereka melakukan apa yang tidak mereka lakukan, atau membebaskan mereka dari kesalahan mereka (Pakpahan 2014, 272). Karena alasan inilah, mengingat secara jujur menjadi penting dalam mengenali masa lalu.

Bagi Volf, mengingat dengan jujur berhubungan dengan keadilan dan karenanya ini menjadi syarat dari rekonsiliasi (Pakpahan 2012, 219). Kejujuran ingatan seseorang tidak akan mengeliminasi kejujuran orang yang lain karena berbahaya jika mengklaim kebenaran dari satu orang saja. Artinya memori yang jujur tidak menghasilkan kebenaran tunggal. Memori itu benar karena dialami orang orang itu. Oleh karena itu, kita harus mengingat dengan kemampuan terbaik kita dan dengan terang kejujuran. Pada akhirnya, Kristus yang akan memampukan kita jujur dan memenuhi kita untuk mengingat masa lalu kita.

Volf juga menyinggung komunitas yang mengingat sebagai fasilitator untuk menempatkan memori-memori korban dan pelaku dalam terang memori kolektif. Volf mengangkat kisah keluaran dan penderitaan Kristus sebagai ingatan komunal yang dapat memfasilitasi ingatan-ingatan personal ke dalam terang rekonsiliasi Allah (Pakpahan 2012, 220).

Pada akhirnya, Volf mengatakan, melupakan memori yang menyakitkan di masa lalu bisa terjadi karena Kristus telah mati untuk kita. Saat Kristus mati, dosa juga mati. Pengampunan digaungkan dari kemurahan Allah. Hal ini bisa menjadi alasan bagi orang-orang yang tidak mengingat. Akan tetapi Volf mengatakan Kristuslah pendamai yang final yang membawa memori terkuat yang akan mengingat segala sesuatu dan menyembuhkan masa lalu. Kristus bukan hanya akan menyembuhkan masa lalu tetapi juga mengingat rasa sakitmu (Pakpahan 2012, 223).

Mengingat dan Melupakan dalam Konteks Indonesia

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya." Pepatah ini hendak menyatakan secara implisit bahwa bangsa menjadi besar karena dapat menghargai sejarahnya. Ingatan tentang apa yang terjadi di masa lalu menjadi sebuah syarat untuk memajukan sebuah bangsa. Ingatan dapat membantu orang untuk terhubung dengan masa lalu dan mendengarkan cerita mereka yang telah menderita. Mengingat adalah hal penting untuk dilakukan agar kita dapat belajar dari masa lalu dan supaya peristiwa serupa tidak terulang di masa depan. Hal ini adalah sebuah tindakan untuk memiliki identitas diri. Menurutnya, mengingat berfungsi untuk hidup dalam lebih dari satu dunia, untuk mencengah memudarnya masa lalu dan berseru kepada masa depan untuk menyinari masa lalu tersebut. (Pakpahan 2014, 254)

Zurbuchen mengutip Renan yang mengatakan "forgetting is a crucial factor in the creation of nation" (Zurbuchen 2005, 13). Oleh karena itu, mengingat menjadi alternatif untuk sebuah proses pemulihan dan pembangunan. Dengan konsep "historical memory", Zurbuchen mengajak kita untuk mengingat dan merefleksikan rentetan peristiwa sebagai sebuah memori sosial. Baginya, konsep memori kolektif atau sosial ini menjadi sangat penting untuk memahami "bagaimana kelompok-kelompok memelihara arti masa lalu, dan … bagaimana arti masa lalu itu dapat mengajari kelompok ini baik dalam hal politik, agama, seni maupun kehidupan sosial secara umum" (Zurbuchen 2005, 6-7). Dalam hal inilah peran memori personal menjadi penting, yakni untuk membentuk dan mentransformasi pengalaman masa lalu. Namun hal ini juga menjadi problematis karena sesorang yang berhasil melalui peristiwa yang buruk (traumatic experience) itu cenderung tidak mau atau tidak mampu untuk mengungkapkan dirinya (Zurbuchen 2005, 7).

Melihat peran media seperti televisi bisa dimanipulasi demi kepentingan tertentu (Zurbuchen 2005, 7) sehingga mempengaruhi rakyat untuk mudah melupakan, menjadi tantangan bagi bangsa ini untuk mengingat. Zurbuchen berpendapat memori historis ini harus dimunculkan. Memori historis ini bukan hanya ingatan yang mencakup naskah-naskah tertulis atau "situs lain dari memori" yang ada pada bangsa ini, tetapi juga berkenaan dengan proses pengaturan ingatan (configuring memory). Dalam konteks indonesia, ingatan-ingatan seperti rezim Orde Baru perlu dimunculkan sebagai kerangka memori historis, meskipun Zurbuchen sadar di Indonesia semuanya saling bertaut. Transisi ekonomi negara, pemerintahan, penerapan hukum dan hak asasi manusia dan dinamika kultural, menjadikan Indonesia sebagai sebuah wadah dari proses historisisasi tersebut (Zurbuchen 2005, 9).

Selain media, yang menjadi tantangan untuk berbicara isu-isu masa lalu dalam perpektif personal menjadi tidak terlalu nyaman karena adanya sejarah nasional. Ada monopoli pemerintah tentang apa yang disebut sejarah bangsa Indonesia. Dengan demikian, paparan orang-orang biasa (padahal pelaku sejarah) dianggap subaltern (Zurbuchen 2005, 16). Kesulitan-kesulitan ini yang memicu Indonesia seringkali melupakan. Padahal melupakan bukanlah sebuah jawaban atas peristiwa-peristiwa penting yang meninggalkan tanda tanya besar dalam sejarah Indonesia ini.

Seorang Ki Tristuti Rachmadi, dalang yang dipenjara tanpa diadili selama 14 tahun dan dilarang untuk tampil di publik pada rezim Orde Baru, menjadi salah satu penyaksi sejarah. Pada zaman Orde Baru, tidak sedikit seniman dan cendikiawan yang dibunuh atau dipenjarakan. Bagi Ki Tristuti, diam tidak akan menyelesaikan apapun. Meskipun demikian, kisah 1965 terlalu berbahaya dibicarakan di atas podium. Oleh karena itu melalui karya seninya ia menyampaikan kisah Mahabharata dan Ramayana, kisah yang dianggap "berat dan tidak menguntungkan" bahkan jarang dilakonkan dalam tradisi Jawa. Hal ini dimaknainya sebagai upaya melakonkan narasi 1965 tersebut. "until the wrongs of the past are settled, the final resolution of the lakon of 1965 has still to be played" (Zurbuchen 2005, 18).

Goenawan Mohamad mereproduksi kisah Mahabharata dalam tulisannya Kali. Di dalamnya tersirat kisah kekerasan masa kelam 1965 sebagai rekaman dari kekerasan Orde Baru yang terjadi di Indonesia. Tokoh Destarastra yang buta dan Gandari yang buta-ganda melambangkan orang yang tidak melihat dan orang yang tidak akan melihat. Kisah ini melukiskan kebrutalan konflik suku, pembunuhan saudara, rasa bersalah antargenerasi, dan penolakan akan kebenaran sebagai cerminan peristiwa 1965. Goenawan ingin mengungkapkan kebenaran dan keadilan tidak dapat dicapai saat itu (Zurbuchen 2005, 19).

Kedua tokoh ini, Ki Tristuti Rachmadi dan Goenawan Mohamad berusaha membicarakan kisah masa lalu pada masa kini dalam kemasan tradisi Jawa.

Mengingat menjadi alternatif jawaban yang penting bagi pemulihan Indonesia. Lalu bagaimana dengan gereja? Teologi mengingat menawarkan sebuah jalan, terutama bagi gereja-gereja di Indonesia untuk mengingat penderitaan-penderitaan bangsa ini dan mengubahnya menjadi sebuah memori sosial baru di mana ingatan akan peristiwa kelam tersebut bisa dimaknai kembali dan diserahkan kepada Allah yang mengingat.

Refleksi

Dalam berbagai pepatah, sering disebutkan kata 'ingat'. Ingat atau ingatan menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia. Tanpa ingatan, sesungguhnya seseorang tidak hidup. Ingatan-ingatan yang terjadi dalam kehidupan manusia membentuk kepribadian dan identitas manusia. Dengan ingatan, manusia melangkah kakinya menapaki hari esok.

Namun, bagaimana jika kita diminta untuk mengingat hal yang menyakitkan dalam hidup kita? Kita pasti akan sulit melakukannya dan cenderung memilih melupakannya. Melupakan berarti mengingat kembali ingatan yang tidak perlu diingat. Padahal, dalam pembahasan yang cukup panjang dari paper ini, mengingat adalah proses yang baik dan seharusnya dilakukan oleh setiap orang atau pihak.

Perjamuan Kudus atau Ekaristi merupakan momen bagi setiap orang mengingat peristiwa kasih Allah kepada manusia. Di dalam perjamuan inilah, semua ingatan diubah menjadi sukacita. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, dalam perjamuan ini pula ingatan seseorang menjadi ingatan komunal dan diubah menjadi sukacita di dalam Allah.

Namun, sayangnya, kecenderungan orang-orang di Indonesia cepat sekali lupa. Anak-anak muda zaman sekarang lupa apa isi dari Pancasila, kejadian apa yang terjadi saat tahun 1965, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya. Mungkin mereka akan ingat, tetapi pasti hanya sepotong-sepotong. Lalu, jika generasi muda kita tidak mengingat apapun tentang negaranya, lantas bagaimana nasib negara kita ke depannya?

Inilah hal yang perlu kita kritisi dan cermati saat ini. Ada banyak ingatan yang begitu menyakitkan terjadi di Indonesia ini, dan para korban diacuhkan dan tidak mendapatkan perlakuan baik dari negara. Tahu 'kah kita apa yang dilakukan negara bagi para perempuan yang dianggap 'Gerwani' saat kasus G 30 S 1965 terjadi? Atau apa yang dilakukan negara kita kepada para korban pasca konflik perpecahan Timor Timur dengan Indonesia? Atau adakah tindakan rekonsiliasi dari pemerintah terhadap gadis-gadis keturunan Tionghoa yang diperkosa tanpa alasan oleh masyarakat? Negara pun tidak mendukung terjadinya rekonsiliasi. Di satu sisi, hal inilah yang membuat beberapa korban dari berbagai konflik menolak untuk mengingat kenangan pahit yang terjadi dalam hidupnya.

Apakah perdamaian dan rekonsiliasi bukan lagi menjadi kebutuhan setiap orang? Ataukah kita biarkan saja ingatan itu dan tidak perlu diingat lagi, karena dianggap tidak memecahkan masalah? Apakah dengan mengingat akan memperburuk keadaan? Ataukah kita bersama mengingat hal-hal tersebut sebagai ingatan bersama dan berusaha melakukan pendampingan bagi korban, dan juga pelaku?

Daftar Acuan

Pakpahan, Binsar J. 2012. God Remembers: Towards a Theological of Remembrance as a Basis of Reconciliation in Communal Conflict. Amsterdam: VU University Press.

________________. 2014. "Teologi Ingatan Sebagai Dasar Rekonsiliasi dalam Konflik" dalam Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi. Jakarta: STF Driyarkara.

Zurbuchen, Mary S. 2005. "Historical Memory in Contemporary Indonesia" dalam Beginning to Remember. Singapore & United States: Singapore University Press, NUS Publishing.

1